Untuk
membuktikan keberadaan Allah swt, paling tidak digunakan tiga dalil
(bukti) yang bisa mendukung dan menguatkan bahwa Allah swt itu ada.
Dalil itu adalah dalil Naqli, Aqli dan Fitrah. Ini juga sebagaimana
penegasan Allah di dalam al-Qur’an sendiri:
سَنُرِيهِمْ
ءَايَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ
أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
شَهِيدٌ
Kami
akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka
bahwa Al Qur'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi
kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (QS. Fushilat (41): 53)
1. Dalil Fitrah
Manusia sejak masih
berada dalam alam ruh (arwah) telah ditanamkan benih iman, kepercayaan
dan penyaksian (syahadah) terhadap keberadaan Allah swt. Dalam QS
al-A’raf (7): 172 Allah menegaskan:
وَإِذْ
أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى
شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا
غَافِلِينَ
“Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar
di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (QS al-A’raf: 172)
Benih
keyakinan terhadap eksistensi Allah merupakan fitrah atau sesuatu yang
bersifat kodrati. Dan karena bertuhan itu merupakan fitrah manusia, maka
tepatlah kiranya kalau Mircea Eliade mensifatinya sebagai ‘homo religious atau naturalier religiosa. Fitrah inilah yang menjadi daya pendorong pertama untuk mengenal dan mendapatkan Allah swt.
Adapun
yang dimaksud dengan fitrah Allah adalah ciptaan Allah. Allah
menciptakan manusia disertai dengan berbagai macam naluri, termasuk di
dalamnya naluri bertuhan, naluri beragama, yaitu agama tauhid. Kalau ada
manusia yang tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka
tidak beragama tauhid karena pengaruh lingkungan (Depag RI,
al-Quran dan terjemahnya: 645). Ali Issa Othman menjelaskan bahwa arti
fitrah tidak lain adalah inti dari sifat alami manusia, yang secara
alami pula ingin mengetahui dan mengenal Allah swt (Ali Issa Othman, Manusia Menurut al-Ghazali:
28). Sementara Yasien Muhammad menerangkan bahwa, karena fitrah allah
dimasukan dalam jiwa manusia maka manusia terlahir dalam keadaan dimana
tauhid menyatu dengan fitrah. Karena tauhid menyatu dengan fitrah
manusia maka para nabi datang untuk mengingatkan manusia pada fitrahnya
dan untuk membimbingnya kepada tauhid yang menyatu dengan sifat dasarnya
(Yasien Muhammad: 21). Ali bin Abi Thalib ra menyatakan bahwa para
nabiyullah diutus untuk mengingatkan manusia kepada perjanjian yang
telah diikat oleh fitrah mereka, yang kelak mereka akan dituntut untuk
memenuhi perjanjian tersebut. Perjanjian itu tidak tercatat di atas
kertas, tidak pula diucapkan oleh lidah, melainkan terukir dengan pena
allah dipermukaan kalbu dan lubuk fitrah manusia, di atas permukaan hati
nurani serta di kedalaman perasaan batiniah.
Fitrah bertuhan inilah yang oleh Danah Zohar dan Ian Marshall dinamakan God Spot atau titik Tuhan (Danah Zohar & Ian Marshall, SQ: Spiritual Intelegence – The Ultimate Intelegence,
2000: 79). Fitrah ini gejalanya secara universal dapat diamati cukup
signifikan di sepanjang sejarah perjalanan hidup manusia. Dan fitrah
bertuhan ini akan semakin bertambah jelas bila dikaji lewat kajian
filsafat, suatu kajian yang didasarkan pada pemikiran yang kritis,
radikal, koheren, spekulatif, rasional lagi konprehensif untuk
mendapatkan apa yang disebut hakekat.
2. Dalil Aqli
Fitrah
bertuhan dalam arti keinginan untuk mengetahui dan mengenal Allah, yang
kemudian didukung oleh akal fikiran yang kritis dan radikal akan
melahirkan kegairahan yang luar biasa untuk menatap dan menguak
ayat-ayat Allah yang tergelar dalam jagad raya. (QS Fushilat (41): 53,
al-Ghasyiah (88): 17-22, al-Waqi’ah (56): 63-65, 68-72, al-Mulk (67):
30, al-Anbiya (21): 30-33). Renungan manusia dengan menggunakan akal
fikiran yang kritis disertai dengan pengamatan intuisi yang halus dan
tajam pasti akan membuahkan hasil semakin bertambah kuat keyakinannya (belief)
bahwa sesunggunya jagat raya beserta seluruh isinya ini adalah makhluk
Allah, yang diciptakan oleh sang Maha Pencipta dengan penuh perencanaan
dan bertujuan (QS al-Mukminun (23): 115 dan Ali Imron (3): 191).
Mengikuti
apa yang diperintahkan Allah dalam QS Muhammad (47): 19 agar
menggunakan segala potensi yang dimilikinya untuk membaca ayat-ayat
Allah yang berupa ayat kauniyah guna memperoleh ‘belief’,
keyakinan yang sudah tertanam dalam lubuk hati manusia, para filosof
mengemukakan ada enam argumentasi pembuktian terhadap eksistensi Allah,
yaitu:
a. Dalil Kosmologis
Dalil kosmologis adalah suatu pembuktian yang berhubungan dengan ide tentang kausalitas, sebab musabab (causality).
Plato dalam bukunya Timaeus
mengatakan bahwa tiap-tiap benda yang terjadi pasti dikarenakan dan
didahului oleh suatu sebab. Kalau ada dua batang pohon yang berdiri
berdampingan , dan salah satunya ada yang mati,orang akan beranggapan
bahwa tentu ada sebab-sebab yang mengakibatkan adanya kejadian yang
berlainan. Pohon yang mati pasti disebabkan oleh adanya penyakit, dan
penyakit itu sendiri juga mempunyai sebab, dan begitulah seterusnya.
Theo Huibers menyatakan bahwa tidak mungkin adanya suatu rangkaian sebab
yang tak terhingga, oleh karena jika demikian halnya, memang tidak
terdapat sebab yang pertama. Jika tidak terdapat sebab yang pertama,
maka sebab yang kedua tidak terdapat juga, oleh karena seluruhnya
tergantung dari sebab yang pertama. Jika tidak terdapat sebab yang
kedua, maka tidak terdapat sebab yang ketiga, dan seterusnya, sehingga
akhirnya harus dikatakan : tidak terdapat sebab yang pertama sama
sekali. Dan ucapan ini memang salah (Theo Huibers, II: 84)
Jadi benda-benda yang terbatas (finite)
rangkaian sebab-musabab akan berjalan secara terus menerus. Akan tetapi
dalam logika rangkaian yang terus menerus seperti itu mustahil. Jadi
dibelakang sebab-sebab yang merupakan rangkaian yang sangat komplek
tentu ada sebab yang pertama, yang tidak disebabkan oleh sebab lain.
Sebab yang pertama inilah yang dinamakan Tuhan. (M Rasyidi, Filsafat Agama,
1970: 54-55). Bandingkan dengan firman Allah dalam QS. At-Thur (52):
35, al-Waqiah (56): 58-59, 64-65, 68-69, dan 71-72, An-Nahl (16): 70-75,
ar-rum (30): 20-25.
b. Dalil Ontologis
Argumen
ontologis adalah pembuktian akan keberadaan Tuhan didasarkan pada
hakekat yang ada. Argumen ini dipelopori oleh Plato (428-348 SM) dengan
teori idenya, St. Agustinus (354-430 M), al-Farabi (872-950), St. Anselm
(1033-1109).
Menurut
Anselm, manusia dapat memikirkan sesuatu yang kebesaranya tidak dapat
melebihi dan diatasi oleh segala yang ada, konsep sesuatu yang maha
besar, maha sempurna, sesuatu yang tidak terbatas. Zat yang serupa ini
mesti mempunyai wujud dalamj hakekat, sebab kalau tidak memiliki wujud
dalam hakekat dan hanya mempunyai wujud dalam fikiran, zat itu tidak
mempunyai sifat yang lebih besar dan sempurna dari pada mempunyai wujud.
Mempunyai wujud dalam alam hakekat lebih besar dan sempurna dari pada
mempunyai wujud dalam alam fikiran saja. Sesuatu yang maha besar dan
maha sempurna itu ialah Tuhan dan karena sesuatu yang terbesar dan
paling sempurna tidak boleh tidak pasti mesti mempunyai wujud, maka
Tuhan mesti mempunyai wujud. Dengan demikian, Tuhan pasti ada.
c. Dalil Teleologis
Dalil
teleologis yaitu pembuktian tentang adanya Tuhan dengan berpedoman pada
konsep keterpolaan (desain) di dalam alam semesta yang membutuhkan
‘desainer’. William Paley menyatakan bahwa di dalam dunia yang konkrit
kita melihat kompleksnya unsure-unsur dunia ini, akan tetapi terlihat
sangat teratur sekali. Alam semesta menunjukan bentuk keteraturan itu,
dimana planet-planet yang bertaburan namun tidak saling berbenturan satu
sama lainya. Hal ini menunjukan adanya kekuatan maha Dahsyat yang
menciptakan dan mengendalikannya. Alam semesta merupakan karya seni
terbesar yang menunjukan adanya ‘A Greater Intellegent Desaigner’,
yaitu Tuhan. Tegasnya ‘langit menceritakan kemulian Allah, dan
cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya’. Perhatikan firman Allah
dalam QS as-Shaffat (37): 6 dan Qaf (50): 6.
d.Dalil Fenomenologis
Dalil
fenomenologis yaitu pembuktian tentang keberadaan Tuhan dengan mengacu
pada rahasia-rahasia fenomena yang terjadi di alam semesta. Fenomena
yang terjadi di alam semesta ini dari makhluk yang terkecil sampai alam
yang membentang luas, semuanya menyngkapkan rahasia akan keberadaan
Tuhan. Argumen ini dikemukakan oleh Sa’id Hawwa dalam bukunya Allah Jalla wa Jalaluhu.
1) Fenomena terjadinya Alam.
Setiap sesuatu yang ada pasti ada yang mengadakan, begitu alam semesta
ini, tentu ada yang menciptakan. Lihatlah gunung hijau yang kokoh
bediri, aliran sungai yang kesemuanya bermuara ke laut, langit yang
tegak tanpa tiang, planet beredar penuh keteraturan, mungkinkah
kesemunya ada dengan sendirinya? “Apakah mereka diciptakan tanpa
sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?
Ataukah mereka yang telah menciptakan langit dan bumi itu”. (QS at-Thur: 35-36)
2) Fenomena Kehendak yang tinggi. Jika
saja presentase oksigen 5% lebih dari udara, bukan 21 %, maka semua
materi yang bisa terbakar yang ada di bumi ini, segera saja terbakar.
Karena andaikan bunga api pertama yang ada pada kilat itu menimpa pohon
niscaya segera menghapus seluruh hutan. Andaikan persentase oksigen 10%,
sulit untuk dibayangkan peradaban manusia bisa seperti ini. Apakah
persentase oksigen suatu kebetulan? Renungkanlah, siapa yang mengatur
dan memformulasaikan agar kadar oksigen di udara 21 % sehingga ada
kehidupan di bumi ini. Bukankah hal ini menunjukan adanya kehendak yang agung
yang bersumber dar Zat Mahapintar dan Maha bijaksana, bahwa dia
berkehnadak menentukan segala sesuatu sebagai ketetapan yang terbaik.(QS
Ali Imron (3): 190).
3) Fenomena Kehidupan.
Kehidupan berbagai makhluk di atas bumi ini menunjukan bahwa ada Zat
yang menciptakan, membentuk, menentukan rizkinya dan meniup ruh
kehidupan pada dirinya (QS Al-Ankabut: 20, Al-anbiya: 30). Bagaimanapun
pintarnya manusia, ia tak akan sanggup menciptakan seekor lalat pun (QS
al-hajj: 73-74).
4) Fenomen Petunjuk dan Ilham.
Hal apakah yang mendorong seekor ayam betina membolak-balikan telur
yang sedang dieraminya, agar anak-anak ayam yang sedang mengalami proses
di dalam telur tidak mengalami pengendapan? Dengan cara itulah generasi
ayam tetap lestari sampai saat ini. Siapa yang mengajarinya untuk
melakukan hal itu? Bukankah di sana ada hidayah yang sempurna untuk mempertahankan kelangsungan jenis dari Zat Yang Maha Mengetahui ciptaan-Nya. “Musa
berkata: tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada
tiap-tiap sesuatu bentuk kejadianya, kemudian memberinya petunjuk”. (QS Thaha: 50).
5) Fenomena Hikmah. Mengapa bibir-bibir unta terbelah? Banyak hikmah di balik ini, di antaranya adalah untuk membantunya memakan tumbuh-tumbuhan padang
pasir yang berduri dan keras. Kakinya pun sesuai dengan daerah
berpasir, sehingga ia tak mengalami kesulitan. Bulu matanya yang panjang
bagaikan jaring, bisa melindungi kedua matanya dari debu-debu yang
bertebaran. Ponggoknya berfungsi sebagai tempat menyimpan makanan karena harus mengarungi padang pasir. Berjuta penciptaan segala sesuatu di bumi ini menunjukan adanya Allah Yang Maha hikmah. “Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling daripadanya?” (QS Yusuf: 105)
6) Fenomena Pengabulan Do’a.
Manusia yang penuh kelemahan akan menemui saat-saat di mana ia tidak
mungkin bergantung pada siapa pun kecuali Allah. Baik muslim mapun
kafir, ketika menghadapi hal-hal yang membahayakan, pasti akan berdoa.
Saat doa dikabulkan, adalah saat seharusnya manusia merenung tentang
siapa yang mendengar doa dan mengabulkanya (QS. (17): 67, (10): 22-23)
e. Dalil Historis
Dalil
histories (sejarah) adalah pembuktian tentang keberadaan Tuhan dengan
berpegang pada sejarah perjalanan hidup manusia dari dahulu hingga
sampai saat ini yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan keagamaan.
Hubungan manusia dengan Tuhan dapat dilihat dari kehidupan keberagamaan
yang paling sederhana hingga kehidupan keberagamaan yang paling komplek
sekalipun, walaupun dalam perjalanannya banyak terjadi penyimpangan, ini
membuktikan bahwa peran Tuhan dalam kehidupan manusia sangat dominan.
Penelusuran tentang sejarah pengembaraan manusia dalam pencarianya
menggapai Tuhan, dapat ditemukan dalam bukunya Karen Amstrong A History Of God: 4000 – Year Quest of Judaism, Christianity, and Islam (Sejarah Tuhan: 4000 Tahun Pengembaraan Manusia Menuju Tuhan).
f. Dalil Moral
Dalil
moral yaitu pembuktian adanya Tuhan dengan berpegang pada pengandaian
adanya hukum moral umum yang memperlihatkan adanya ‘Penjamin Moral’ (Law Giver).
J.H. Newman menyatakan bahwa adanya kesadaran manusia untuk melakukan
perbuatan yang utama semata-mata didorong oleh suara hati (kata hati,
hati nurani, hati kecil, insane kamil), atau menurut istilah Immanuel
Kant disebutnya ‘kategoris imperatif’. Tiap-tiap orang pasti
mengalami pada dirinya sendiri, bahwa terdapat perbuatan-perbuatan yang
tidak diperbolehkan. Berkat suara hati manusia merasa sungguh-sungguh
bertanggung jawab atas tindakanya, dan lagi pula mempunyai kesadaran
bahwa ia tidak boleh bertindak melawan keyakinan moralnya. Menurut
Newman, dalam hati senantiasa terdengar suara Allah secara eksistensial,
yang tak masuk akal adanya perintah moril ini, kalau tidak terdapat
Hakim yang Tertinggi, yang mengesahkan perintah moral tersebut
(Huijbers: 97-98). Inilah alasanya mengapa suara batin rakyat disebutnya
sebagai suara Tuhan, ‘Vox Populi Vox Dei’. Bandingkan dengan firman Allah QS as-Syams (91): 8.
3. Dalil Naqli,
Dalil naqli adalah dalil pembuktian akan keberadaan dengan merujuk petunjuk kitab suci. Dengan fitrah, manusia
bisa mengakui adanya Tuhan, dan dengan akal pikiran bisa
membuktikannya, namun manusia tetap memerlukan dalil naqli (al-Qur’an
dan as-Sunnah) untuk membimbing manusia mengenal Tuhan yang sebenarnya
dengan segala asma dan sifat-Nya. Sebab fitrah dan akal tidak bisa
menjelaskan siapa Tuhan sebenarnya itu.
Cukup
banyak pembahasan tentang Allah swt di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah,
hanya saja di sini dikemukakan beberapa point penting saja, yaitu:
a. Allah adalah al-Awwal, yaitu tidak ada permulaan bagi wujud-Nya dan juga al-Akhir, yaitu tidak ada akhir dari wujud-Nya.
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ`
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS al-Hadid [57]: 3)
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ`وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ`
Semua
yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang
mempunyai kebesaran dan kemuliaan. (QS ar-Rahman [55]: 26-27)
b. Tidak ada satu pun yang menyerupai-Nya.
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ`
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS as-Syura [42]: 11)
c. Allah swt adalah Maha Esa.
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ`اللَّهُ الصَّمَدُ`لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ`وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ`
Katakanlah:
"Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula
diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia". (QS
al-Ikhlas [112]: 1-4)
Selain ayat di atas, di
dalam al-Qur’an dinyatakan dalam banyak ayat antara lain: QS al-baqarah
[2]: 133, 163, An-Nisa [4]: 171, al-Maidah [5]: 73, al-An’am [6]: 19,
al-A’raf [7]: 70, at-Taubah [9]: 31, Yusuf [12]: 39, ar-Ra’d [13]: 16,
Ibrahim [14]: 48, 52, An-nahl [16]: 22, 51, Al-Isra [17]: 46, al-Kahfi
[18]: 110, al-Anbiya’ [25]: 108, al-hajj [22]: 34, al-Ankabut [29]: 46,
as-Shaffat [37]: 4, shad [38]: 5, 65, az-Zumar [39]: 4, 45, Ghafir [40]:
12, 16, 84, Fushilat [41]: 6, al-Mumtahanah [60]: 4, al-Ikhlas [114]:
1.
d. Allah mempunyai al-Asma’ wa shiffat
(nama-nama dan sifat-safat) yang disebutkan untuk diri-Nya di dalam
al-Qur’an serta semua nama dan sifat yang dituturkan untuk-Nya oleh
rasulullah saw dalam sunnahnya.
وَلِلَّهِ
الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ
فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ`
Hanya
milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut
asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari
kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat
balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (QS al-A’raf [7]: 180).